Caramakan.com | Banten bukan hanya terkenal dengan jejak sejarah Kesultanan yang pernah berjaya, tetapi juga dengan kulinernya yang sarat makna. Salah satu sajian legendaris yang hingga kini masih bertahan adalah rabeg, sebuah hidangan berbahan dasar daging kambing yang memiliki akar sejarah panjang serta dipenuhi nuansa budaya.
Asal Usul Rabeg: Dari Tanah Suci ke Tanah Banten
Kisah rabeg konon bermula pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati sekaligus sultan pertama Kesultanan Banten. Dalam perjalanan ibadah haji ke Makkah, Sultan sempat singgah di sebuah kota bernama Rabigh, yang terletak di pesisir Laut Merah, Arab Saudi.
Di sanalah Sultan mencicipi hidangan daging kambing yang dimasak dengan bumbu khas Arab. Terkesan dengan cita rasanya, beliau kemudian membawa inspirasi masakan itu ke tanah air. Setibanya di Banten, Sultan meminta juru masak istana untuk menghadirkan sajian serupa dengan sentuhan rempah-rempah Nusantara.
Dari proses adaptasi inilah lahir masakan yang kelak dikenal dengan nama rabeg—diambil dari nama kota Rabigh sebagai penghormatan sekaligus penanda asal-usulnya.
Perpaduan Cita Rasa Arab dan Nusantara
Meskipun berakar dari kuliner Arab, rabeg bukan sekadar tiruan. Cita rasa rabeg justru semakin kaya karena dipadukan dengan rempah-rempah khas Nusantara, seperti:
- Lengkuas untuk menambah aroma segar,
- Jahe untuk menghadirkan sensasi hangat,
- Biji pala yang memberi sentuhan manis pedas,
- Lada sebagai penguat rasa gurih pedas,
- serta kayu manis yang memperkaya aroma harum.
Kombinasi bumbu tersebut menciptakan rasa gurih, sedikit manis, sekaligus hangat di tenggorokan. Kuahnya berwarna cokelat pekat, berpadu sempurna dengan tekstur daging kambing yang empuk setelah dimasak lama dengan api kecil.
Status Rabeg dalam Kesultanan Banten
Pada masa kejayaannya, rabeg bukanlah makanan biasa. Sajian ini berstatus hidangan kerajaan dan biasanya hanya hadir dalam acara-acara istimewa, seperti perayaan keagamaan, hajatan besar, atau jamuan tamu kehormatan Kesultanan Banten.
Karena posisinya yang sakral, rabeg juga mencerminkan simbol akulturasi budaya. Ia menjadi bukti bagaimana masyarakat Banten sejak lama terbuka pada pengaruh luar, namun tetap mampu mengolahnya menjadi identitas kuliner lokal yang berbeda.
Rabeg di Masa Kini
Seiring berjalannya waktu, rabeg tak lagi terbatas di istana. Masyarakat Banten kemudian mengadaptasinya hingga menjadi makanan tradisional yang populer. Kini, rabeg dapat dengan mudah ditemukan di berbagai warung makan dan rumah makan khas Banten, terutama di wilayah Serang, Cilegon, hingga Pandeglang.
Rabeg kerap hadir dalam acara pernikahan, syukuran, maupun jamuan keluarga besar. Kehadirannya tidak hanya untuk memuaskan lidah, tetapi juga menjadi pengingat akan sejarah panjang Banten dan peran Kesultanan dalam membentuk identitas budaya masyarakatnya.
Makna Filosofis Rabeg
Lebih dari sekadar kuliner, rabeg menyimpan makna mendalam. Ia mengajarkan tentang perjalanan, pertemuan budaya, dan adaptasi. Dari Rabigh di Arab Saudi hingga Banten, rabeg menunjukkan bahwa cita rasa bisa melintasi batas geografis, namun tetap dapat diperkaya dengan karakter lokal.
Tidak heran jika rabeg kini dianggap sebagai salah satu ikon kuliner Banten yang tak hanya layak dicicipi, tetapi juga dijaga kelestariannya.
Rabeg bukan hanya seporsi daging kambing berkuah rempah. Ia adalah potongan sejarah, simbol akulturasi, dan warisan kuliner yang membanggakan. Dari meja istana hingga meja makan rakyat, rabeg tetap setia menemani perjalanan panjang budaya Banten.
Mencicipi rabeg berarti turut merasakan jejak Sultan Maulana Hasanuddin, menyelami percampuran cita rasa Arab dan Nusantara, serta merayakan kekayaan tradisi kuliner Indonesia.[]
Seputar lingkunbgan hidup di Banten baca: https://dlhbanten.id/